Monday 8 December 2014

Give Him The Awareness of Your Guidance, Grandpa...!

Langit biru seakan merasakan bagaimana aku kehilangan dirimu. 14 Agustus 2014 adalah hari terakhir dimana matahari pagi menyapamu. Engkau pergi jauh, jauh dan semakin jauh berjalan bersama-Nya. Selamat Jalan Kakek, doaku bersamamu selamanya...

Kini, tak ada lagi canda tawa antara aku dengan mu, kakek. Perih rasa hati ini mengingat bagaimana engkau meninggalkan dunia tanpa sepatah kata yang terucap di hari terakhir perjumpaan kita. Tak lagi ada jawaban ketika suaraku memanggilmu, menyapamu dari lorong pintu. Dan tak kan pernah ada lagi kebersamaan dengan sebuah pesan di tahun baru nantinya.

Aku selalu ingin memberimu acungan jempol untuk setiap kegigihanmu. Aku benar-benar melihat bagaimana engkau terjun, menyelami kehidupan selama satu abad ini. Tak pernah terpikirkan olehku akankah kehidupanku begitu panjang. Kini, aku hanya berkata; demikian adanya!

Secara tak sadar, hari ini ketika jarum waktu mengarah pada seratus hari kepergianmu, ada segelintir perasaan rindu menjadi tuan hidupku; seakan perasaan ini berdiri pada barisan terdepan. Harus kuakui itulah sebuah perasaan yang mewakili kasih sayang yang tak akan pernah berakhir, tak berujung dan tanpa batas.

Kepergianmu adalah jalan terbaik yang Tuhan berikan. Kami tahu Tuhan lebih sayang padamu. Ketika menarikmu menuju lingkaran-Nya, Dia lakukan perlahan hingga kau pergi dengan senyum yang damai. Dan segalanya itu, membuat kami rela, ikhlas melepasmu walau air mata ini tak mampu terbendung.

Perlahan memori tentangmu mulai menghangat dalam benakku. Bagaimana bahagianya dirimu kala kebersamaan kita yang penuh canda tawa hingga rasa sakit yang menekan dan memaksamu untuk mengulirkan air mata. Jika aku dapat marah pada mereka yang menyakitimu, kan ku katakan 'Kau bedebah!' pada mereka.

Aku tak tahu harus dimulai dari mana kisah tentangmu. Yang kutahu, ini seakan menjadi aib keluarga bagimu; terlebih sepuluh tahun terakhir seolah menjadi duka bagimu. Tak lagi ada kebersamaan sebagai sebuah keluarga besar, luluh lanta oleh manusia yang dibutakan harta bahkan bisa jadi tidak mengenal karma. Menyakitkan mengingat semua hal ini, sungguh namun apa daya dan ini lah yang terjadi.

Waktu berlalu sungguh cepat dan perasaan akan dirimu masih membayang hingga mendekati 100 hari kepergiaan mu. Ya.... seminggu kedepan tepatnya 21 Nopember 2014. Tak ada yang mampu membaca apa yang kupikirkan saat sekarang, perasaan suka duka itu menyelimuti mu dan seakan akan ingin marah dan berteriak keras. Aaaaaaa SETAN! Padanya aku berharap ia akan berubah! Dan sia-sia penantian itu.

Engkau telah tiada... Tak ada yang perlu disesali. Aku kecewa bukan pada dirimu, lebih kepada mereka yang tak mengerti bagaimana pengorbananmu. Ya sudahlah! Aku generasi berikutnya yang akan melihat bagaimana karma berperan dalam kehidupanmu nantinya. Tulisan ini akan bukan tercipta karena sebuah dendam, terlebih perasaan iba dan kasihan melihat kelakuanmu.

***

Kakek, lazimnya aku sapa dengan sebutan akong. Adalah bahasa hokkian yang kami pergunakan karena asal kakek dari negara Tiongkok. Kalau sebelum meninggal, kakek pernah menyebut desanya adalah Hokkian Ang Huei di negara RRC. Wah, kapan ya aku bisa mengunjungi daerah tersebut? mulai terbayang dalam benakku. Saat aku menginjak tempat kelahiran kakek, apa mereka tahu tentangku? dan halusinasi itu mulai muncul.

Akong itu putra tunggal yang berlayar hingga Indonesia. Tidak jelas ku ketahui bagaimana bisa sampai di negara Indonesia ini. Dari seorang pedagang sayuran, aku salut akan keuletannya membesarkan 7 orang anak hingga ada aku sekarang ini. Aku generasi ke-3, patut berbangga hati masih diberi kesempatan mengenal nya lebih dalam dan melakukan terbaik buat dirinya. Akong punya 5 anak laki dan 2 anak perempuan. Berbekal semangat dan rendah hati, beliau mengayomi kehidupan ini bersama ama (sapaanku untuk nenek). Ama terlebih dahulu meninggalkan kami, mencari kebahagiaan di dunia lain, hidup bersama dewa dewi dan ku berharap jika ia telah terlahir kembali, terlahirlah lebih baik.

Ama pergi dalam usia yang terlalu muda bagiku. Aku belum diberi kesempatan mengenalnya lebih dalam. Dari sepengelaman orang-orang yang berada disekitarnya; anak-anak bahkan menantu termasuk salah satu adalah papa mamaku, mereka menyebut ama seorang ibu yang telaten, sedikit cerewet dan senantiasa ingin kerapian. Kalau zaman sekarang, mungkin orang-orang akan bilang "everything should be perfect!" begitulah kira-kira.Karena waktu yang singkat antara aku dengan ama, sehingga tidak banyak yang dapat kukatakan tentangnya.

Dari akong ama, mereka memiliki 7 orang anak, 2 cewek dan 5 cowok. Wow.. Banyak juga. Menurut pepatah zaman dulu, "banyak anak, banyak rezeki", benar gak sich??? Untuk zaman sekarang, selama anak-anak itu berbakti, it's ok! Namun, untuk anak yang lebih mementingkan kepetingan sendiri dan durhaka, Damn! it's gonna be havoc!

Beberapa tahun lalu, akong pernah bercerita tentang bagaimana perjuangannya menghidupi 7 orang anak hingga tergolong mapan sekarang ini. Tidak perlu kaya harta namun kebahagiaanlah yang senantiasa melimpah.Bahkan banyak diantara mereka yang menaruh respect dengan keluarga kami. Kami bahagia karena mampu menolehkan kebersamaan merata dan tanpa pamrih.

Namun, segalanya perlahan sirna. Dari sebuah konflik merekah hingga menjadi sebuah prahara. Oh no.. It's suck! Memang benar, kejujuran adalah segalanya. Sekali kebohongan terungkap, tak kan ada lagi kesempurnaan dalam akhir sebuah cerita. Terlebih mereka yang dibutakan kekayaan dan limpahan nafsu untuk mendunia. Gila!

Sepanjang kehidupanku, ini akan menjadi sebuah konflik yang paling murka.Dulu aku hanya mengira ini sebagai sebuah cuplikan sinetron yang akan menjadi tontonan, namun hmmm.... Perasaan saling melindungi pun terkikis bersamanya. Kini, hidup hanya untuk kepentingan sendiri.

Kini bagiku, rasa hormat itu pupus sudah. Aku tak lagi melihat kewibawaanmu sebagai seorang pribadi yang dewasa. Hanya sebagai sampah dan anak durhaka, bagiku itu melekat jika dirimu tidak berubah. Aku tak ingin mengulir sumpah. Aku berusaha sabar mengikuti aliran karma walaupun hati ini perih melihatnya. Aku selalu berpikir semoga kamu sadar dan berubah karena manusia tidak selalu sempurna!

Dari bahasa halus aku coba berkata pada coretan kecil yang ada diatas meja. Berharap ia sadar sebelum ajal. Kala prahara itu semakin membumbung tinggi, tertawa kecil dari akong pun jarang terdengar lagi. Miris rasanya!

Sampai pada hari terakhir kepergian akong, kami berharap kau sadar. Sebagai anak laki-laki tertua seharusnya kau menjadi teladan keluarga bukan menjadi kotoran yang bahkan mata pun terenyuh untuk memandang.

Teringat oleh diriku, bagaimana akong menyimpan rasa sakit pada mu. Sebagai orang yang dekat dengannya, ia banyak bercerita. Bagaimana sakitnya beliau kala kebersamaan di malam tahun baru saat sebuah keluarga berkumpul untuk memulai awal baru (wui lo), kau membiarkannya sendiri. Kau lebih memilih orang luar dan membiarkannya di sebuah rumah dalam kesunyian. Jika orang-orang tak mengenal karma, mereka akan mengutukmu, saudara!

Hingga pada puncaknya, beliau bahkan seolah lupa anakmu adalah cucunya. Seharusnya kejadian ini menyadarkanmu untuk bangkit dan tak lagi buta. Bagaimana menyedihkannya saat hari terakhir kepergian akong, ia masih menyebut perlahan kau sebagai anaknya.

Terlihat sia-sia sudah. Kau selamanya buta! Prahara ini semakin tidak mengenal karma. Tak lagi yang dapat ku kata, jalanmu telah berbalik arah. Berkelut dengan hitam pekat nya dunia.

Kakek, hari ini aku berdiri pada hari ke 90 kepergianmu, 12 Nopember 2014. Seperti badai menghantam, demikianlah kabar itu mengusik pikiranku. Aku shock! Bagaimana bisa seorang anak melakukan hal tersebut, pikirku. Akong, jika hadir dalam mimpiku; aku berharap jangan segera pergi. Duduklah dan aku masih ingin bercerita padamu.

"Ia tak akan pernah sadar lagi, akong. Hari ini, anakmu tak akan pernah lagi hidup bagi kami. Hari ini, anakmu telah terkutuk bagi kami. Ia telah hidup dengan cemoohan tanpa henti. Bagaimana teganya ia membumi-hanguskan mata pencaharian orang, lebih kejam dari seekor binatang!", ucapku. Berharap engkau mendengar ucapanku.

Bahasa halus tak lagi cocok untuk dirinya, 'SETAN'!, ingin aku meneriakinya. Terlebih ketika lewat 100 hari kepergianmu akong. Sampai dengan beraninya dia mengusik kehidupan keluargaku. Dengan lantang dia akan menghantam papa. Bedebah!

Tak ada lagi yang kupikirkan sekarang. Aku hanya mencoba bersabar. Tidak menyangkut pada diriku, namun aku tak mau mereka tersakiti. Kumohon jangan biarkan kebencian semakin timbul karena tingkahmu. Cukup sampai disini. Saat kau tak lagi mengizinkan kami memasuki rumah akong sekalipun untuk memberi hormat, kami terima. Tidak perlu kami menyembahmu bagai dewa, karena kami yakin dan percaya, Tuhan itu ada.

And the last point, I wish "Give him the awareness of Your Guidance, Grandpa...!" karena engkau adalah segalanya. Meski engkau tiada dan tanpa raga, Namun kebersamaan kita tetap ada.



Medan, 8 December 2014

No comments:

Post a Comment