Pajak di
Indonesia merupakan sumber pendanaan yang memegang peranan penting dalam
perkembangan kesejahteraan rakyat Indonesia. Dalam Kitab Undang-Undang yang mengatur tentang Tata Cara
Perpajakan Nomor 6 Tahun 1983 stdtd Nomor 28 Tahun 2007 juga menyebutkan bahwa
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh Orang Pribadi
atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Namun, sudahkah rakyat sejahtera oleh
Pajak itu sendiri? Saya rasa tidak demikian adanya.
Malahan apa yang saya rasakan
sebagai salah satu praktisi perpajakan adalah kurangnya kesadaran dari para
wajib pajak untuk melakukan pembayaran dengan sebagaimana mestinya. Ini adalah
sebuah siklus; saat orang-orang tidak merasakan manfaatnya malah cenderung atau
lebih kepada titik kerugian, mereka akan lebih memilih untuk tidak bersentuhan
dengan pajak. Alhasil, upaya pemerintah dalam mengenjot angka penerimaan dari
sudut ini akan jatuh. Hingga akhirnya banyak pakar perpajakan berbicara,
mengeluarkan statement dengan harapan adanya perubahan yang signifikan.
Indonesia, Saat ini, masih optimis
akan tercapainya target pajak yang tinggi hingga berada pada kisaran angka Rp.
1.294,25 Triliun. Upaya pemerintah dengan melakukan ekstensifikasi dan
intensifikasi dalam perpajakan terus berlanjut; bahkan tahun 2015 ini
ditetapkan sebagai tahun pembinaan pajak. Tahun pembinaan yang diharapkan
nantinya mampu memberikan hukuman atau sanksi bagi pengemplang pajak, wajib
pajak nakal yang dengan sengaja menunggak dan memaksa pemerintah melalukan
kebijakan gijzeling.
Mengapa terlalu banyak wajib pajak
nakal yang seolah tidak mendukung program pemerintah? Satu hal yang perlu
ditelusuri secara seksama alasannya. Tahun 2015 ini; dengan tingginya nominal
target penerimaan yang ditetapkan oleh pemerintah telah membuat para fiskus
menguber bahkan seolah menjajah prinsip perpajakan di Indonesia itu sendiri.
Prinsip self-assesment yang diyakini
seakan sirna. Saat kebijakan tidak lagi di kedepankan, wajib pajak hanya mampu
diam seribu bahasa. Bahkan banyak para pebisnis yang gulung tikar hanya karena
hal ini, hak bangsa pun hanya sekedar menjadi sebuah kalimat semata. Atau…
apakah telah ada amendment Undang-Undang
Dasar 1945 yang intinya tidak lagi memperdulikan kesejahteraan rakyat? Keadilan
sosial dan kepastian hukum hanya menjadi sebuah wacana.
Pertanyaan yang muncul dibenak saya
adalah bagaimana Indonesia akan maju? Sungguh sangat disayangkan. Perpajakan
Indonesia sejujurnya telah menjadi momok menakutkan bagi setiap Warga Negara
Indonesia yang telah menjadi wajib pajak. Dengan pandangan tersebut; sangat
ironis target yang sebegitu tingginya terpenuhi di sektor ini.
Dari pengalaman, saya belajar banyak
hal untuk dunia ini walau berawal dari pembelajaran secara otodidak. Mungkin
tidak se-expert mereka yang telah puluhan tahunan menjalaninya. Dari
kasus-kasus yang saya lihat, perpajakan Indonesia seolah tidak lagi menjunjung
tinggi hak dari para wajib pajak. Upaya pidana yang tadinya merupakan upaya
hukum terakhir (Ultimum Remedium) pun dikesampingkan. Dimanakah letak sebuah
keadilan?
Salah satu contoh adalah perusahaan
perkebunan Asian Agri yang terjerat dalam tindak pidana perpajakan. Sangat
ironis sebuah putusan dalam ranah hukum akan muncul tanpa adanya sebuah
pemeriksaan yang jelas. Hal ini mengundang munculnya spekulasi dari berbagai
pihak; para akademisi, pengamat maupun para praktisi. Dan ini pun menjadi
berita hangat!
Dari kasus ini, muncul sebuah
perumpaan dimana perpajakan di Negara kita tidak lagi sekedar mencari telur
ayam tetapi mencekik ayam-ayam hingga tidak lagi mampu berkoak-koak. Hal yang
tragis memang!
Kisruh perkara
perpajakan Asian Agri terlalu rumit hingga anti klimaksnya harus mendorong
Asian Agri sebagai sebuah badan usaha untuk membayar denda yang disebut sebagai
kerugian Negara sebesar 2, 5T. Ini sebuah suntikan hebat bagi para fiskus
tetapi seperti menjadi gemuruh kuat bagi Asian Agri. Tidak akan berujung jika
harus membahas hal ini.
Tahun 2015 Wajib
Pajak kini merasa seperti dalam masa perburuan. Dengan terbitnya
peraturan-peraturan maupun surat edaran Dirjen Pajak, seakan membidik kesalahan
dari wajib pajak yang pada dasarnya jika harus dikaji asal mulanya adalah dari
kurangnya sosialisasi. Wajib Pajak seakan diperbodoh!
Semoga Fiskus
akan lebih cerdik dalam menelaah setiap aktivitasnya. Mengembalikan pandangan
positif dari publik. Publik perlu pengakuan kejelasan dan transparansi
penerimaan Negara, Publik perlu sebuah bukti kerja nyata dan bukan hanya
omongan belaka karena tujuan kita adalah satu; Untuk Indonesia yang lebih maju
dan merdeka!
Note : Ini hanya sebuah opini umum tanpa memihak
pada siapapun, Terima kasih.